Bharindosulut.com, Minsel – Sejak dahulu penduduk Minahasa percaya bahwa mereka adalah keturunan Toar dan Lumimuut. Tempat kediaman mereka pertama kali di daerah pengunungan Wulur Maatus yang bernama Niutakan yaitu suatu bukit dekat dengan daerah Tampaso Baru sekarang. Dari sini mereka berpindah ke arah utara yang disebut Awuan, yaitu daerah dekat Watu Pinawetengan yang dikenal sebagai batu tempat diadakan pembagian wilayah. Dahulu turunan pertama Minahasa ini sering berselisih mengenai wilayah kediaman mereka.
Oleh sebab itu ditempat tersebut diadakan musyawarah yang disebut Pinawetengan u nuwu (pembagian pemujaan) untuk pembagian wilayah setiap keturunan Toar dan Lumimuut ini. Menurut catatan dan cerita-cerita Minahasa Tua (Malesung), kejadian ini berlangsung kira-kira tahun 1031 Masehi.
Hasil musyawarah tersebut menghasilkan pembagian wilayah sebagai berikut :
– Tombulu atau Tou in wulu yaitu orang yang berdiam dibelukar bambu dan pegunungan, mendapat daerah sebelah utara barat (tenggara Minahasa).
– Tonsea atau Tou in sea yaitu orang yang mengambil jalan lain dan berdiam di belukar kayu sea, mendapat daerah sebelah utara-timur Minahasa.
– Tondano/Tolour atau Tou in Rano yaitu orang yang mengitari air/danau (lour), mendapat daerah timur-selatan Minahasa.
– Tontemboan atau Tou in Temboan yaituorang yang berdiam di pegunungan, mendapat bagian di daerah selatan-barat Minahasa.
Keempat kelompok turunan itu merupakan penduduk asli Minahasa yang merasa bersatu sebagai keturunan Toar dan Lumimuut, sehingga menamakan dirinya Minahasa yang artinya telah bersatu menjadi satu kesatuan. Kemudian Suku Minahasa berkembang menjadi 8 sub suku bangsa dengan bahasa dan dialek yang berbeda-beda seperti :
– Tombulu atau Tou in wulu dengan dialek Tombulu yang mendiami daerah sebelah utara barat/tenggara Minahasa (barat laut danau Tondano).
– Tonsea atau Tou in sea dengan dialek Tonsea, mendiami daerah sebelah utara dan timur laut.
– Tolour atau Tou in Rano dengan dialek Toulour mendiami daerah timur-selatan dan pesisir Danau Tondano.
– Tontemboan atau Tou in Temboan dengan dialek Tountemboan (Matanai/Makelai) mendiami bagian di daerah selatan-barat daya Minahasa atau di selatan Danau Tondano .
– Tonsawang atau Tonsini dengan dialek Tonsawang yang mendiami daerah bagian tengah dan tenggara Minahasa bagian selatan atau Tombatu.
– Ratahan yang mendiami daerah bagian tenggara Minahasa.
– Ponosakan yang mendiami daerah bagian tenggara Minahasa.
– Bantik tersebar di beberapa tempat pesisir pantai barat laut utara dan selatan kota Manado.
Sub suku-suku di Minahasa ini sebelumnya mempunyai kebudayaan asli sebagai warisan nenek moyang. Tetapi sejak kedatangan bangsa Barat (Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda) baik untuk kepentingan berdagang maupun menyiarkan agama Kristen, maka dalam waktu relatif singkat kira-kira 150 tahun telah mempengaruhi kebudayaan nenek moyang Minahasa dengan kebudayaan barat.
Keturunan pertama Tountemboan mulai menempati daerah sekitar Watu Pinawetengan (Kec. Tompaso sekarang), dan NEgeri tua Nimawale yang kemudian dikenal dengan nama Tounkimbut. “Nimawale” artinya Bekas Rumah/ Bekas Kampung. Negeri Tua Nimawale ini adalah Pusat pemukiman (Puser in Tana) Tongkibut terletak diperkampungan Kiawa Lama dikompleks yang kini disebut Lana yang berarti ujung di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Laundano (sekarang Kec. Kawangkoan). Dahulu di sekitar daerah ini terdapat tempat permandian (lelean) yang konon dipakai oleh keturunan pertama Tountemboan sesudah pembagian wilayah. Pada masa sesudah armada Spanyol memasuki Minahasa (1521-1565), Tongkibut merupakan suatu wilayah kekuasaan dalam bentuk walak yang dinamakan walak Tongkibut.
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, setelah terjadi perpindahan (hijrah) penduduk dari pusat kampung Tongkibut, Walak Tounkimbut terpecah menjadi 2 bagian yaitu Tounkimbut Atas (Kumawangkoan/ Kawangkoan) dan Tounkimbut Bawah (Sumonder/Sonder) Kedua wilayah ini berpusat di Negeri Tua Nimawale (Kiawa Lama).
Dan kemudian pada tahun 1856 wilayah Tongkibut dijadikan 2 distrik yaitu Distrik Kawangkoan (dahulunya Tongkibut Atas) dan Distrik Tombasian. Setelah Indonesia Merdeka, kedua Distrik ini dijadikan sebuah wilayah kecamatan yang disebut Kecamatan Kawangkoan.
Tareran pada waktu itu terbagi dalam dua distrik bawahan yaitu Distrik Kawangkoan dan Distrik Amurang, Hal ini berlaku hingga Indonesia merdeka.
Pada tahun 1961 diwacanakan pembentukan sebuah wilayah kecamatan yang menaungi desa-desa disekitar wilayah Kuntung Tareran yang merupakan distrik bawahan Kawangkoan atau dalam berjemaat berada dalam Lingkaran Tareran untuk menjadi sebuah Kecamatan yang berdiri sendiri dengan membentuk sebuah panitia persiapan pembentukan kecamatan yang umumnya terdiri dari : Bapak Jootje. N. Kawatu, Bapak Dirk Mambo dan Sdr. Johanis Prang dengan beberapa anggota panitia lainnya.
Dengan usaha keras dari panitia, maka pada awal tahun 1962 yaitu pada bulan Februari terbentuklah dengan resmi wilayah Tareran menjadi sebuah kecamatan yang disebut Kecamatan Tareran Kabupaten Minahasa yang meliputi 12 desa yaitu Rumoong Atas, Lansot, Wiau Lapi, Talaitad, Suluun, Pinapalangkow, Kapoya, Pinamorongan, Wuwuk, Koreng, Kaneyan dan Tumaluntung. Adapun Hukum Kedua/camat pertama Kecamatan Tareran adalah Bapak Nicholas Josis Rumengan yang berkantor pertama kali di Rumah Kel. Kumaat di Wale Ure desa Rumoong Atas.
Peresmian distrik bawahan Tareran ini dilakukan oleh Bupati Minahasa pada waktu itu dijabat oleh F. Sumampow, berdasarkan pada jemaat GMIM di wilayah Tareran yang berasal dari 2 classis Yaitu : Dari klassis Sonder adalah Suluun dan Pinapalangkow. Dari klasis Amurang adalah Rumoong Lansot, Wiau Lapi, Talaitad, Wuwuk, Tumaluntung, Koreng, Pinamorongan, Kaneyan dan Kapoya.
Nama Tareran yang dipergunakan sebagai nama dari kecamatan Tareran berasal dari nama sebuah puncak bukit yang disebut Kuntung Tareran yang terletak disebelah barat Desa Rumoong-Lansot.
Asal kata dari nama Tareran yang menurut cerita orang-orang tua dahulu berasal dari kata“Rinareran”yang berarti berjejer, berderet atau berbaris, yaitu di ambil dari peristiwa berjejernya/ berbarisnya (tareirei) mayat-mayat korban pertempuran antara orang-orang Minahasa dengan Mongondow, dimana kepala-kepala orang Mongondow yang dipancung ditancapkan ditiang berjejeran disepanjang Kuntung (bukit/gunung) Tareran (Rinareran e Mongondow).
Juga cerita mengenai legenda Lipan & Konimpis yang dikenal dengan istilah “Taar Era” yang berarti “pesan mereka.” Kedua cerita ini tak lepas dari peristiwa mengenai pertempuran tapal batas antara suku Minahasa dan Mongondow yang terjadi di pegunungan Tareran sebelum bangsa Eropah memasuki pedalaman Minahasa.
(Drs Sonny Prang)
Komentar