Jaksa Agung Burhanuddin: Keadilan Substantif dalam Penegakan Hukum  

Kejaksaan Dan MA765 Dilihat

Bharindosulut.com – Jakarta – Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, Kejaksaan melaksanakannya secara merdeka.

Pelaksanaan kekuasaan Negara di bidang penuntutan, Kejaksaan berwenang untuk dapat menentukan suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan dan memiliki arti penting dalam menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) serta interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) dalam proses peradilan pidana.

Hal ini menunjukkan adanya perubahan paradigma penegakan hukum dari formalistik ke keadilan hukum substantif, sehingga Kejaksaan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, terlebih lagi diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf b dan c yang pada pokoknya mengatur turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban, serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya.

Kewenangan Jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan (prosecutorial discretion), dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, kearifan lokal, serta nilai-nilai moral, etika, dan keadilan dalam masyarakat.

Hal ini memiliki arti penting dalam rangka mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat, serta menuntut adanya perubahan mindset, perilaku, dan kepastian hukum yang diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai seorang Jaksa harus mampu menggali nilai- nilai hukum dalam masyarakat sehingga penegakan hukum mampu beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, sebab Jaksa bukan cerobong undang-undang yang bersifat kaku, baku, dan membeku.

Sehingga Jaksa Agung sering mengimbau para Jaksa “untuk menggunakan hati nurani di setiap pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum, karena hati nurani tidak ada dalam buku. Gunakan kepekaan sosial saudara-saudara,” ujar Jaksa Agung.

“Hal tersebut mendasari bahwa keadilan formalistik yang dibelenggu aturan bersifat kaku demi mengejar kepastian hukum tidak lagi dapat dipertahankan. Namun di era saat ini, sudah berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan rasa keadilan dalam masyarakat yang disebut dengan keadilan substantif.

Komentar